Pengapian Big-bang arti harafiahnya, duarrrr..! Ledakan besar, jack. Itu sih, mekanik balap bebek juga bisa dengan menaikkan kompresi. Weiit... jangan sembarangan. Big-bang di balap motor prototipe dikembangkan sebagai ajian multiguna. Tidak sekadar mengail tenaga super. Apalagi di era four stroke alias 4-tak, kian menjadi.
Rumus Big-bang sebelumnya pada 2-tak (GP500). Pengapiannya meledak berdekatan pada 180˚. Tanpa pusing dikawinkan dengan rotasi roda, akselerasinya mengalir. Kan motor bakar 2-tak, setiap langkah melakukan dua proses sekaligus.
Mesin 4-tak mengubah paten pengapian ini. Basisnya dimainkan secara beruntun pada 720˚ sesuai proses pembakaran 4-tak. Dalam proses itu, pasti terhadi jeda pada rotasi kruk-as.
Jeda ini justru dimanfaatkan untuk menggasing roda motor MotoGP. Jeda antara proses isap, kompresi, usaha, dan buang. “Big-bang telah berkembang pada kenyamanan,” yakin Jeremmy Burgess, ketika pertama kali datang ke Yamaha dari Honda bersama Rossi.
Burgess begitu ke Yamaha langsung utak-atik firing order (waktu pembakaran) Yamaha M1. Dia mentrasfer Big-bang Honda pada garputala. Baginya, ledakan besar akan percuma, jika akhirnya hanya merugikan. Misalnya, letupan yang berlebihan pada ruang bakar, tidak sinkron dengan gasingan roda cakar aspal. Pembalap malah repot koreksi pacuan.
Ada teori yang hanya diraba-raba para analisa. Maklum, speksifikasi teknis MotoGP sangat ragasia. Terutama Big-bang yang dikembangkan Ducati. Ketika Casey Stoner juara dunia 2007, teknologi Big-bangnya kena sasaran. Setiap rotasi GP10 pada empat silinder punya efek memuntahkan tenaga.
Sayang, cuma karakter Casey Stoner yang sanggup menjinakannya. Pembalap lain benar-benar merasa mati ayam. Ayam mati. Mati kutu deh. Kendati, peranti elektronik telah meredam kitiran yang meledak-ledak tersebut. Tetap wae, pengendara lain seperti belajar kendalikan Desmosedici.
Diyakini, teknisi Ducati kelabakan memanfaatkan jeda antara pembakaran dengan rasio percepatan. Makanya, pada GP10 di awal seri tahun ini, Ducati berkoar kembali pada pembakaran klasik.Yaitu, Screamer.
Ducati sejenak melupakan Big-bang. Ducati percaya, Big-bang versi mereka hanya Stoner yang sanggup. Itu pun, tidak seganas 2007. Stoner dapat lawan dari dua jagoan Yamaha. “Teknologi Screamer pada GP10 tidak kalah dengan Big-bang,” alasan Direktur Tekknik Ducati, Filippo Preziosi.
Hasilnya, Nicky Hayden lebih mendingan. Dia bisa membawa dengan halus GP10. Itu dibanding tahun lalu yang sentoloyo abis. Screamer memang tidak sekejam Big-bang. Pada era teknologi tinggi, Screamer juga bisa dikembangkan. Screamer adalah ledakan bergantian saat piston lain di TMA, piston lain di TMB.
Beda dengan filsafat Big-bang. Dia punya waktu relaksasi menerapkan power. Putaran 90˚ pertama poros engkol pada pengapian tidak melaksanakan fungsi mesin empat stroke. Terutama saat isap dan kompresi. Ada lowongan 630˚ memungkinkan roda juga lembek putarannya.
Nah, itu dimanfaatkan semakin gile di Yamaha dan Honda. Mereka memanfaatkan jeda ledak pada timing nyaris bersamaan. Itu hanya kira-kira, lho. Saat terjadi kompresi, justru tenaga hanya seputar mesin. Gigi pinion setiap reduksi, baru bekerja keras pada putaran poros engkol 630˚ saat jeda pembakaran. Maksudnya tenaga tidak tersalur bersamaan, saat terjadi letupan.
Sehingga, gejala spin dan slide dieleminir pada Yamaha M1. Ledakan dan putaran roda kontinyu. Sambung menyambung. Jangan jauh-jauh mengkhayal pada MotoGP. Di Indonesia, lewat pengapian BRT dan Rextor, setiap gigi bisa dimaksimalkan pembakaran dan kinerja percepatannya. Apalagi MotoGP.